Hujan di Malam Tahun Baru

Hari ini adalah hari terakhir di tahun 2019. Tahun di mana aku melepas masa lajangku. Tentu saja tak terkira rasa bahagiaku ketika meminang gadis pujaanku yang telah menjadi pacarku selama lima tahun lebih itu. Masih teringat ketika kami mengucapkan janji pernikahan kami untuk selalu setia sampai maut memisahkan, dan saat bertukar cincin yang menandakan kami resmi menjadi suami istri. Dan kini kami hidup berdua di rumah petak yang kami kontrak seharga setengah dari gaji bulananku.

Banyak orang mengutip pepatah orang tua (entah apakah benar orang tuanya pernah berkata demikian) bahwa hujan adalah pertanda rezeki. Semakin deras hujan berarti semakin banyak rezeki.

Aku terbayang saat di mana aku masih belum menjadi pacar istriku saat ini. Hujan lah yang sedikit banyak berperan untuk mendekatkan kami. Salah satunya ketika pulang dari acara reuni sekolah dan kami kehujanan naik motor sampai akhirnya aku masuk angin berhari-hari. Juga ketika aku tidak bisa pulang karena tertahan hujan badai nan deras di rumah kosnya.

Bus yang aku tumpangi dari tempatku bekerja sehari-hari berjalan pelan menembus lebatnya hujan hari ini. Jaketku lumayan kuyup ketika menyeberang jembatan sebelum akhirnya naik kendaraan yang sudah semestinya dimuseumkan ini. Satu jam tak terasa sampai akhirnya aku turun di pinggir jalan tol dan berjalan kaki sampai di rumah.

Tanpa ampun air terus tercurah dari langit mengetuk genting rumah kami. Irama ketukannya cukup kencang sampai-sampai aku harus berteriak agar suaraku terdengar istriku. “Sepertinya kita istirahat saja, berdoa semoga atap rumah tidak bocor!”, seruku.

Aku mengelus & mengecup perut istriku yang berisi jabang bayi kami sedianya akan lahir tiga bulan lagi. Setelah kami makan mi instan dan menyeduh teh panas, kami pun beristirahat, menghabiskan pergantian tahun ini dengan tidur panjang dan berharap di tahun baru terus berlimpah rezeki.

Jam 3 pagi aku terbangun dan ternyata hujan belum kunjung reda dari amukannya. Kasur kami basah terendam banjir.